Selasa, 19 Juli 2011

Keberadaan Reproduksi Seksual Meluas Berkat Parasit

"Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan."
Tampaknya kita perlu berterima kasih pada parasit untuk keberadaan seks. Para ahli biologi di Universitas Indiana telah menemukan bahwa, meskipun reproduksi seksual antara dua individu bersifat tidak efisien dari perspektif evolusi, namun memberi manfaat dibandingkan fertilisasi-diri (self-fertilization) dengan adanya parasit yang berevolusi berdampingan. Seks memungkinkan organisme menghasilkan keturunan yang lebih tahan terhadap parasit, sedangkan fertilisasi-diri jatuh dalam kepunahan populasi di tangan musuh-musuh biologis mereka.
Dilaporkan dalam Sciense, 8 Juli, temuan ini menegaskan hipotesis Ratu Merah, sebuah teori evolusi yang menyatakan bahwa reproduksi seksual via fertilisasi silang membuat populasi inang berevolusi satu langkah lebih maju dari parasit, yang berevolusi bersamaan dan menginfeksi mereka. Ini adalah dalam konteks evolusi berdampingan di mana inang maupun parasit berjalan (berkembang) di tempat yang sama.
“Keberadaan seks yang meluas telah menjadi masalah utama bagi biologi evolusi sejak zaman Charles Darwin,” kata pemimpin penulis, Levi T. Morran. Seks tidak masuk akal dalam evolusi, karena sering melibatkan produksi jantan. Hal ini sangat tidak efisien, karena jantan tidak secara langsung menghasilkan keturunan apapun. Fertilisasi-diri malah jauh lebih efisien dalam hal reproduksi, dan dengan demikian, teori evolusi memprediksi bahwa fertilisasi-diri semestinya meluas di alam, dan seks semestinya langka. Namun, seperti yang kita semua tahu, hal ini tidak terjadi.
Hipotesis Ratu Merah menyediakan satu penjelasan yang mungkin bagi keberadaan seks.
Hubungan antara cacing gelang Caenorhabditis elegans dan bakteri patogen Serratia marcescens, digambarkan di sini bersama-sama dalam cawan Petri, membantu para ilmuwan memahami mengapa reproduksi seksual terjadi menjadi meluas. (Kredit: Universitas Indiana)
“Hipotesis Ratu Merah memprediksi bahwa seks memungkinkan inang menghindari infeksi dari parasit, sedangkan fertilisasi-diri dapat meningkatkan risiko infeksi,” kata penulis pendamping, Curtis M. Lively.
Dengan menggabungkan DNA dari kedua orangtua, seks memungkinkan hasil keturunan yang secara genetik beragam dan berbeda dari orangtua mereka. Parasit yang telah beradaptasi dengan menginfeksi satu generasi, mungkin mengalami kesulitan menginfeksi generasi berikutnya. Namun, keturunan yang dihasilkan melalui fertilisasi-diri mewarisi DNA dari orangtua tunggalnya, sehingga setiap parasit yang beradaptasi dengan menginfeksi orangtua, juga mampu menginfeksi keturunannya.
Morran, seorang peneliti pasca-doktoral, dan Lively, seorang profesor biologi terkemuka dari Bloomington College of Arts dan Science’s Department of Biology Universitas Indiana, menulis laporan penelitian bersama dengan mahasiswa biologi Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden dan Raymond C. Parrish II.
Tim riset menggunakan cacing gelang Caenorhabditis elegans sebagai inang dan bakteri patogen Serratia marcescens untuk menghasilkan sistem parasit-inang yang berevolusi berdampingan dalam lingkungan yang terkendali, memungkinkan percobaan evolusi bisa dilakukan lebih dari 70 pengujian Hipotesis Ratu Merah. Mereka memanipulasi sistem perkawinan C. elegans secara genetik, menyebabkan cacing gelang bereproduksi baik secara seksual maupun fertilisasi-diri dalam populasi yang sama. Kemudian mereka memaparkan populasi tersebut dengan parasit S. marcescens. Parasit itu sebagian dibiarkan berevolusi berdampingan dengan C. elegans dan sebagian evolusinya dicegah. Para peneliti kemudian menentukan sistem perkawinan yang mana yang memberikan keuntungan evolusioner bagi populasi.
“Kami menemukan bahwa populasi C. elegans yang melakukan fertilisasi-diri didorong secara cepat ke arah kepunahan oleh parasit yang berevolusi berdampingan, hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah,” kata Morran. Di sisi lain, seks memungkinkan populasi tetap pada jalurnya bersama parasit mereka. “Seks membantu populasi beradaptasi terhadap parasit yang berevolusi berdampingan, memungkinkan orangtua menghasilkan keturunan yang resisten terhadap infeksi dan akhirnya menghindari kepunahan,” katanya.
Dalam populasi inang di mana seks maupun fertilisasi-diri itu memungkinkan, keadaan evolusi parasit menentukan strategi reproduksi yang paling efektif. Ketika parasit tidak berevolusi berdampingan, fertilisasi-diri berkembang sebagai bentuk yang mendominasi reproduksi inang. Sebaliknya, ketika parasit dibiarkan berevolusi berdampingan dengan inang, maka seks menjadi strategi reproduksi yang menguntungkan.
“Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan,” kata Morran.
Hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah dan mungkin bahkan lebih jauh menjelaskan keberadaan seks yang meluas.
“Parasit yang berevolusi berdampingan tampaknya sangat umum di alam,” kata Lively. “Percobaan menunjukkan bahwa evolusi berdampingan dengan parasit memilih untuk tingkat penyilangan yang lebih tinggi. Dengan demikian perjuangan evolusi berdampingan antara inang dan parasit bisa menjelaskan keberadaan jantan.”
Kredit: Universitas Indiana
Jurnal: Levi T. Morran, Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden, Raymond C. Parrish II, Curtis M. Lively. Running with the Red Queen: Host-Parasite Coevolution Selects for Biparental Sex. Science, 8 July 2011: DOI: 10.1126/science.1206360

"Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan."

Tampaknya kita perlu berterima kasih pada parasit untuk keberadaan seks. Para ahli biologi di Universitas Indiana telah menemukan bahwa, meskipun reproduksi seksual antara dua individu bersifat tidak efisien dari perspektif evolusi, namun memberi manfaat dibandingkan fertilisasi-diri (self-fertilization) dengan adanya parasit yang berevolusi berdampingan. Seks memungkinkan organisme menghasilkan keturunan yang lebih tahan terhadap parasit, sedangkan fertilisasi-diri jatuh dalam kepunahan populasi di tangan musuh-musuh biologis mereka.
Dilaporkan dalam Sciense, 8 Juli, temuan ini menegaskan hipotesis Ratu Merah, sebuah teori evolusi yang menyatakan bahwa reproduksi seksual via fertilisasi silang membuat populasi inang berevolusi satu langkah lebih maju dari parasit, yang berevolusi bersamaan dan menginfeksi mereka. Ini adalah dalam konteks evolusi berdampingan di mana inang maupun parasit berjalan (berkembang) di tempat yang sama.
“Keberadaan seks yang meluas telah menjadi masalah utama bagi biologi evolusi sejak zaman Charles Darwin,” kata pemimpin penulis, Levi T. Morran. Seks tidak masuk akal dalam evolusi, karena sering melibatkan produksi jantan. Hal ini sangat tidak efisien, karena jantan tidak secara langsung menghasilkan keturunan apapun. Fertilisasi-diri malah jauh lebih efisien dalam hal reproduksi, dan dengan demikian, teori evolusi memprediksi bahwa fertilisasi-diri semestinya meluas di alam, dan seks semestinya langka. Namun, seperti yang kita semua tahu, hal ini tidak terjadi.
Hipotesis Ratu Merah menyediakan satu penjelasan yang mungkin bagi keberadaan seks.
Hubungan antara cacing gelang Caenorhabditis elegans dan bakteri patogen Serratia marcescens, digambarkan di sini bersama-sama dalam cawan Petri, membantu para ilmuwan memahami mengapa reproduksi seksual terjadi menjadi meluas. (Kredit: Universitas Indiana)
“Hipotesis Ratu Merah memprediksi bahwa seks memungkinkan inang menghindari infeksi dari parasit, sedangkan fertilisasi-diri dapat meningkatkan risiko infeksi,” kata penulis pendamping, Curtis M. Lively.
Dengan menggabungkan DNA dari kedua orangtua, seks memungkinkan hasil keturunan yang secara genetik beragam dan berbeda dari orangtua mereka. Parasit yang telah beradaptasi dengan menginfeksi satu generasi, mungkin mengalami kesulitan menginfeksi generasi berikutnya. Namun, keturunan yang dihasilkan melalui fertilisasi-diri mewarisi DNA dari orangtua tunggalnya, sehingga setiap parasit yang beradaptasi dengan menginfeksi orangtua, juga mampu menginfeksi keturunannya.
Morran, seorang peneliti pasca-doktoral, dan Lively, seorang profesor biologi terkemuka dari Bloomington College of Arts dan Science’s Department of Biology Universitas Indiana, menulis laporan penelitian bersama dengan mahasiswa biologi Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden dan Raymond C. Parrish II.
Tim riset menggunakan cacing gelang Caenorhabditis elegans sebagai inang dan bakteri patogen Serratia marcescens untuk menghasilkan sistem parasit-inang yang berevolusi berdampingan dalam lingkungan yang terkendali, memungkinkan percobaan evolusi bisa dilakukan lebih dari 70 pengujian Hipotesis Ratu Merah. Mereka memanipulasi sistem perkawinan C. elegans secara genetik, menyebabkan cacing gelang bereproduksi baik secara seksual maupun fertilisasi-diri dalam populasi yang sama. Kemudian mereka memaparkan populasi tersebut dengan parasit S. marcescens. Parasit itu sebagian dibiarkan berevolusi berdampingan dengan C. elegans dan sebagian evolusinya dicegah. Para peneliti kemudian menentukan sistem perkawinan yang mana yang memberikan keuntungan evolusioner bagi populasi.
“Kami menemukan bahwa populasi C. elegans yang melakukan fertilisasi-diri didorong secara cepat ke arah kepunahan oleh parasit yang berevolusi berdampingan, hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah,” kata Morran. Di sisi lain, seks memungkinkan populasi tetap pada jalurnya bersama parasit mereka. “Seks membantu populasi beradaptasi terhadap parasit yang berevolusi berdampingan, memungkinkan orangtua menghasilkan keturunan yang resisten terhadap infeksi dan akhirnya menghindari kepunahan,” katanya.
Dalam populasi inang di mana seks maupun fertilisasi-diri itu memungkinkan, keadaan evolusi parasit menentukan strategi reproduksi yang paling efektif. Ketika parasit tidak berevolusi berdampingan, fertilisasi-diri berkembang sebagai bentuk yang mendominasi reproduksi inang. Sebaliknya, ketika parasit dibiarkan berevolusi berdampingan dengan inang, maka seks menjadi strategi reproduksi yang menguntungkan.
“Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan,” kata Morran.
Hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah dan mungkin bahkan lebih jauh menjelaskan keberadaan seks yang meluas.
“Parasit yang berevolusi berdampingan tampaknya sangat umum di alam,” kata Lively. “Percobaan menunjukkan bahwa evolusi berdampingan dengan parasit memilih untuk tingkat penyilangan yang lebih tinggi. Dengan demikian perjuangan evolusi berdampingan antara inang dan parasit bisa menjelaskan keberadaan jantan.”
Kredit: Universitas Indiana
Jurnal: Levi T. Morran, Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden, Raymond C. Parrish II, Curtis M. Lively. Running with the Red Queen: Host-Parasite Coevolution Selects for Biparental Sex. Science, 8 July 2011: DOI: 10.1126/science.1206360
Salah satu oganisme yang dipercaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan kualitas air sungai adalah ulat air berkantung. Ulat air berkantug termasuk di dalam ordo Caddisfly dan merupakan organisme yang pada tahap larvanya berada di dalam sebuah kantung yang ia buat sendiri dan terletak pada dasar sungai atau batu di dasar sungai.
  • Klasifikasi dari organisme ini adalah:
Kingdom           : Animalia
Filum                 : Arthropoda
Kelas                  : Insecta
Super Ordo        : Amphiesmenoptera
Ordo                  : Trychoptera
Berbagai spesies caddisfly dapat ditemukan di seluruh dunia. Anggota ordo serangga Trichoptera itu masih berkerabat dekat dengan Lepidoptera, ordo yang beranggotakan ngengat dan kupu-kupu, dua serangga yang memintal sutra kering. Serangga ini kerap digunakan sebagai umpan oleh para pe-mancing karena disukai ikan trout. (Batavia, 2010).
Berbagai spesies caddisfly dapat ditemukan di seluruh dunia. Anggota ordo serangga Trichoptera itu masih berkerabat dekat dengan Lepidoptera, ordo yang beranggotakan ngengat dan kupu-kupu, dua serangga yang memintal sutra kering. Serangga ini kerap digunakan sebagai umpan oleh para pe-mancing karena disukai ikan trout. (Batavia, 2010).
Gambar 2.1  Ulat air berkantung yang menempel pada sebatang pohon yang berada di dalam air. (Neuswanger, 2010).
 Gambar 2.2  sketsa yang mengambarkan ulat air berkantung dengan kantungnya
  • Ekologi Ulat Air Berkantung
Dalam wikipedia (2011) disebutkan bahwa ulat air berkantung di temukan hanya pada daerah yang berair bersih, sehingga organisme ini dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator daerah yang bersih. Dengan kata lain, apabila pada suatu perairan tawar ditemukan banyak ulat air berkantung ini, maka secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa perairan tersebut masih bagus dan tidak tercemar.
Di indonesia, ulat air berkantung ini, sering ditemukan pada daerah sumber mata air yang memiliki air jernih dan arus yang tidak terlalu deras. Sesuai dengan penjelasan pada wikipedia bahwa ulat air berkantung ini memang suka hidup pada bebatuan atau di dasar sungai yang memiliki arus, namun tidak terlalu deras.
Sesuai namanya, ulat air berkantung ini memiliki kemampuan untuk membentu semacam kantung yang dijadikan tempatnya hidup. Uniknya larva ini hidup di bawah air yang mengalir dan memakan alga-alga kecil serta plankton yang terikut aliran air.
Dalam Batavia (2010) dijelaskan bahwa beberapa spesies menghabiskan fase perkembangan larva mereka di dalam air dan membangun sebuah wadah berbentuk .tabung sepanjang 1 inci atau sebuah shelter sekujur tubuhnya menggunakan sutra lengket dan batu atau butiran pasir. Spesies lain menggunakan sutra, ranting kecil, dan potongan daun sebagai material “rumah” mereka.
Setiap larva mempunyai kepala dan empat kaki yang menjulur keluar dari dalam tabung. Wadah itu tak selalu berbentuk tabung, terkadang lebih mirip kerucut karena bertambah lebar ketika larva tumbuh. Pada saat larva berkembang menjadi pupa, lubang tabung akan ditutupi oleh campuran batu dan pasir hingga dia tumbuh menjadi serangga terbang dewasa, keluar dari tabung tersebut dan hidup di daratan.
Ulat air berantung, akustik dan kupu-kupu maupun ngengat darat muncul dari nenek moyang penghasil sutra yang sama pada 150-200 juta tahun lampau. Caddisfly kini hidup di seluruh perairan dunia, mulai sungai berarus deras hingga rawa payau yang sunyi.” Caddisfly sukses memasuki beragam habitat akuatik karena larvanya dapat menggunakan sutra dalam airnya untuk membangun struktur tabung batu sebagai proteksi dan untuk mengumpulkan makanan,” kata Stewart dalam Batavia (2010).
Odum (1993) menyebutkan bahwa zona air deras dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang dapat melekat atau berpegangan dengan kuat pada dasar yang padat oleh ikan yang kuat berenang “darter”. Salah satu bentos yang termasuk dalam pernyataan odum di atas adalah ulta air berkantung ini.
Bentos hidupnya relaif menetap, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Sehingga dengan demikian semakin diyakini bahwa ulat air berkantung ini merupakan bioindikator yang tepat untuk mendeteksi kualitas air sungai.

TAHUKAH ANDA. MENGAPA AIR LAUT TERASA ASIN

Sebetulnya rasa asin pada air laut berasal dari daratan, kronologisnya adalah : Pada saat terjadi hujan didaratan air akan meresap dalam tanah dan sedikit demi sedikit akan keluar lagi melalui sungai-sungai dam akhirnya mencapai laut . Nah pada saat perjalanan menuju ke laut tersebut air dari daratan juga membawa garam-garam mineral sehinga laut dipenuhi garam-garam mineral.

Kita mengetahui laut mempunyai permukaan yang sangat luas sehingga hal ini menjadi salah satu faktor penguapan yang cukup besar, pada saat air laut menguap yang menguap hanyalah H2O (air) sedang garam garam mineral tetap tinggal bersama air laut, begitulah sehinggga air laut rasanya asin. Kadar keasinan air laut ini dipengaruhi oleh faktor suhu, biasanya semakin panas daerah tersebut air lautnya semakin asin.

Lalu kenapa air di danau itu tidak berasa asin padahal airnya juga dari daratan..?? Jawabanya karena permukaan air danau tidak cukup luas sehingga penguapannya tidak begitu besar, maksudnya air yang menguap dengan air yang masuk ke danau masih balance dan sumber mineralnya sangat terbatas, beda dengan laut yang sumber mineralnya dari berbagai penjuru dunia menjadi satu.

Air laut adalah air dari laut atau samudera. Air laut memiliki kadar garam rata-rata 3,5%. Artinya dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35 gram garam (terutama, namun tidak seluruhnya, garam dapur/NaCl).

Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.

Air laut memiliki kadar garam karena bumi dipenuhi dengan garam mineral yang terdapat di dalam batu-batuan dan tanah. Contohnya natrium, kalium, kalsium, dll. Apabila air sungai mengalir ke lautan, air tersebut membawa garam. Ombak laut yang memukul pantai juga dapat menghasilkan garam yang terdapat pada batu-batuan. Lama-kelamaan air laut menjadi asin karena banyak mengandung garam. (KF-BAS/v/berbagai sumber)

OBAT KUMUR ORAL-B KENA BAKTERI, P&G TARIK PRODUKNYA DI RI

Perusahaan multinasional Amerika Serikat, Procter & Gamble alias P&G telah menarik lima jenis obat kumurnya dari peredaran di Kolombia dan Kanada. Penarikan mouthwash dengan merek dagang Oral-B tersebut dikarenakan adanya kontaminasi bakteri. P&G juga sudah menarik produknya di Indonesia.

Sementara itu Deputi bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Ruslan Aspan, Selasa (19/7), mengatakan Pihak P&G sudah lapor pada pihak BPOM, dan melakukan penarikan sukarela sejak hari Jumat kemarin.

Spesifikasi produk Oral-B yang ada cemaran mikro-organisme Burkholderia anthina ini tidak dikirim ke Indonesia, melainkan kepada 4 negara yakni Argentina, Brasil, Chili dan Meksiko. Oral-B yang diimpor ke Indonesia, juga diproduksi di Kolombia. Namun spec yang ada cemaran bakterinya tidak ada di Indonesia. Yang ditarik ada 2 jenis Oral-B, yang biasa dan yang alcohol free. (KF-Koran Warga/v/detikhealth)