Selasa, 19 Juli 2011

Keberadaan Reproduksi Seksual Meluas Berkat Parasit

"Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan."
Tampaknya kita perlu berterima kasih pada parasit untuk keberadaan seks. Para ahli biologi di Universitas Indiana telah menemukan bahwa, meskipun reproduksi seksual antara dua individu bersifat tidak efisien dari perspektif evolusi, namun memberi manfaat dibandingkan fertilisasi-diri (self-fertilization) dengan adanya parasit yang berevolusi berdampingan. Seks memungkinkan organisme menghasilkan keturunan yang lebih tahan terhadap parasit, sedangkan fertilisasi-diri jatuh dalam kepunahan populasi di tangan musuh-musuh biologis mereka.
Dilaporkan dalam Sciense, 8 Juli, temuan ini menegaskan hipotesis Ratu Merah, sebuah teori evolusi yang menyatakan bahwa reproduksi seksual via fertilisasi silang membuat populasi inang berevolusi satu langkah lebih maju dari parasit, yang berevolusi bersamaan dan menginfeksi mereka. Ini adalah dalam konteks evolusi berdampingan di mana inang maupun parasit berjalan (berkembang) di tempat yang sama.
“Keberadaan seks yang meluas telah menjadi masalah utama bagi biologi evolusi sejak zaman Charles Darwin,” kata pemimpin penulis, Levi T. Morran. Seks tidak masuk akal dalam evolusi, karena sering melibatkan produksi jantan. Hal ini sangat tidak efisien, karena jantan tidak secara langsung menghasilkan keturunan apapun. Fertilisasi-diri malah jauh lebih efisien dalam hal reproduksi, dan dengan demikian, teori evolusi memprediksi bahwa fertilisasi-diri semestinya meluas di alam, dan seks semestinya langka. Namun, seperti yang kita semua tahu, hal ini tidak terjadi.
Hipotesis Ratu Merah menyediakan satu penjelasan yang mungkin bagi keberadaan seks.
Hubungan antara cacing gelang Caenorhabditis elegans dan bakteri patogen Serratia marcescens, digambarkan di sini bersama-sama dalam cawan Petri, membantu para ilmuwan memahami mengapa reproduksi seksual terjadi menjadi meluas. (Kredit: Universitas Indiana)
“Hipotesis Ratu Merah memprediksi bahwa seks memungkinkan inang menghindari infeksi dari parasit, sedangkan fertilisasi-diri dapat meningkatkan risiko infeksi,” kata penulis pendamping, Curtis M. Lively.
Dengan menggabungkan DNA dari kedua orangtua, seks memungkinkan hasil keturunan yang secara genetik beragam dan berbeda dari orangtua mereka. Parasit yang telah beradaptasi dengan menginfeksi satu generasi, mungkin mengalami kesulitan menginfeksi generasi berikutnya. Namun, keturunan yang dihasilkan melalui fertilisasi-diri mewarisi DNA dari orangtua tunggalnya, sehingga setiap parasit yang beradaptasi dengan menginfeksi orangtua, juga mampu menginfeksi keturunannya.
Morran, seorang peneliti pasca-doktoral, dan Lively, seorang profesor biologi terkemuka dari Bloomington College of Arts dan Science’s Department of Biology Universitas Indiana, menulis laporan penelitian bersama dengan mahasiswa biologi Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden dan Raymond C. Parrish II.
Tim riset menggunakan cacing gelang Caenorhabditis elegans sebagai inang dan bakteri patogen Serratia marcescens untuk menghasilkan sistem parasit-inang yang berevolusi berdampingan dalam lingkungan yang terkendali, memungkinkan percobaan evolusi bisa dilakukan lebih dari 70 pengujian Hipotesis Ratu Merah. Mereka memanipulasi sistem perkawinan C. elegans secara genetik, menyebabkan cacing gelang bereproduksi baik secara seksual maupun fertilisasi-diri dalam populasi yang sama. Kemudian mereka memaparkan populasi tersebut dengan parasit S. marcescens. Parasit itu sebagian dibiarkan berevolusi berdampingan dengan C. elegans dan sebagian evolusinya dicegah. Para peneliti kemudian menentukan sistem perkawinan yang mana yang memberikan keuntungan evolusioner bagi populasi.
“Kami menemukan bahwa populasi C. elegans yang melakukan fertilisasi-diri didorong secara cepat ke arah kepunahan oleh parasit yang berevolusi berdampingan, hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah,” kata Morran. Di sisi lain, seks memungkinkan populasi tetap pada jalurnya bersama parasit mereka. “Seks membantu populasi beradaptasi terhadap parasit yang berevolusi berdampingan, memungkinkan orangtua menghasilkan keturunan yang resisten terhadap infeksi dan akhirnya menghindari kepunahan,” katanya.
Dalam populasi inang di mana seks maupun fertilisasi-diri itu memungkinkan, keadaan evolusi parasit menentukan strategi reproduksi yang paling efektif. Ketika parasit tidak berevolusi berdampingan, fertilisasi-diri berkembang sebagai bentuk yang mendominasi reproduksi inang. Sebaliknya, ketika parasit dibiarkan berevolusi berdampingan dengan inang, maka seks menjadi strategi reproduksi yang menguntungkan.
“Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan,” kata Morran.
Hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah dan mungkin bahkan lebih jauh menjelaskan keberadaan seks yang meluas.
“Parasit yang berevolusi berdampingan tampaknya sangat umum di alam,” kata Lively. “Percobaan menunjukkan bahwa evolusi berdampingan dengan parasit memilih untuk tingkat penyilangan yang lebih tinggi. Dengan demikian perjuangan evolusi berdampingan antara inang dan parasit bisa menjelaskan keberadaan jantan.”
Kredit: Universitas Indiana
Jurnal: Levi T. Morran, Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden, Raymond C. Parrish II, Curtis M. Lively. Running with the Red Queen: Host-Parasite Coevolution Selects for Biparental Sex. Science, 8 July 2011: DOI: 10.1126/science.1206360

"Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan."

Tampaknya kita perlu berterima kasih pada parasit untuk keberadaan seks. Para ahli biologi di Universitas Indiana telah menemukan bahwa, meskipun reproduksi seksual antara dua individu bersifat tidak efisien dari perspektif evolusi, namun memberi manfaat dibandingkan fertilisasi-diri (self-fertilization) dengan adanya parasit yang berevolusi berdampingan. Seks memungkinkan organisme menghasilkan keturunan yang lebih tahan terhadap parasit, sedangkan fertilisasi-diri jatuh dalam kepunahan populasi di tangan musuh-musuh biologis mereka.
Dilaporkan dalam Sciense, 8 Juli, temuan ini menegaskan hipotesis Ratu Merah, sebuah teori evolusi yang menyatakan bahwa reproduksi seksual via fertilisasi silang membuat populasi inang berevolusi satu langkah lebih maju dari parasit, yang berevolusi bersamaan dan menginfeksi mereka. Ini adalah dalam konteks evolusi berdampingan di mana inang maupun parasit berjalan (berkembang) di tempat yang sama.
“Keberadaan seks yang meluas telah menjadi masalah utama bagi biologi evolusi sejak zaman Charles Darwin,” kata pemimpin penulis, Levi T. Morran. Seks tidak masuk akal dalam evolusi, karena sering melibatkan produksi jantan. Hal ini sangat tidak efisien, karena jantan tidak secara langsung menghasilkan keturunan apapun. Fertilisasi-diri malah jauh lebih efisien dalam hal reproduksi, dan dengan demikian, teori evolusi memprediksi bahwa fertilisasi-diri semestinya meluas di alam, dan seks semestinya langka. Namun, seperti yang kita semua tahu, hal ini tidak terjadi.
Hipotesis Ratu Merah menyediakan satu penjelasan yang mungkin bagi keberadaan seks.
Hubungan antara cacing gelang Caenorhabditis elegans dan bakteri patogen Serratia marcescens, digambarkan di sini bersama-sama dalam cawan Petri, membantu para ilmuwan memahami mengapa reproduksi seksual terjadi menjadi meluas. (Kredit: Universitas Indiana)
“Hipotesis Ratu Merah memprediksi bahwa seks memungkinkan inang menghindari infeksi dari parasit, sedangkan fertilisasi-diri dapat meningkatkan risiko infeksi,” kata penulis pendamping, Curtis M. Lively.
Dengan menggabungkan DNA dari kedua orangtua, seks memungkinkan hasil keturunan yang secara genetik beragam dan berbeda dari orangtua mereka. Parasit yang telah beradaptasi dengan menginfeksi satu generasi, mungkin mengalami kesulitan menginfeksi generasi berikutnya. Namun, keturunan yang dihasilkan melalui fertilisasi-diri mewarisi DNA dari orangtua tunggalnya, sehingga setiap parasit yang beradaptasi dengan menginfeksi orangtua, juga mampu menginfeksi keturunannya.
Morran, seorang peneliti pasca-doktoral, dan Lively, seorang profesor biologi terkemuka dari Bloomington College of Arts dan Science’s Department of Biology Universitas Indiana, menulis laporan penelitian bersama dengan mahasiswa biologi Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden dan Raymond C. Parrish II.
Tim riset menggunakan cacing gelang Caenorhabditis elegans sebagai inang dan bakteri patogen Serratia marcescens untuk menghasilkan sistem parasit-inang yang berevolusi berdampingan dalam lingkungan yang terkendali, memungkinkan percobaan evolusi bisa dilakukan lebih dari 70 pengujian Hipotesis Ratu Merah. Mereka memanipulasi sistem perkawinan C. elegans secara genetik, menyebabkan cacing gelang bereproduksi baik secara seksual maupun fertilisasi-diri dalam populasi yang sama. Kemudian mereka memaparkan populasi tersebut dengan parasit S. marcescens. Parasit itu sebagian dibiarkan berevolusi berdampingan dengan C. elegans dan sebagian evolusinya dicegah. Para peneliti kemudian menentukan sistem perkawinan yang mana yang memberikan keuntungan evolusioner bagi populasi.
“Kami menemukan bahwa populasi C. elegans yang melakukan fertilisasi-diri didorong secara cepat ke arah kepunahan oleh parasit yang berevolusi berdampingan, hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah,” kata Morran. Di sisi lain, seks memungkinkan populasi tetap pada jalurnya bersama parasit mereka. “Seks membantu populasi beradaptasi terhadap parasit yang berevolusi berdampingan, memungkinkan orangtua menghasilkan keturunan yang resisten terhadap infeksi dan akhirnya menghindari kepunahan,” katanya.
Dalam populasi inang di mana seks maupun fertilisasi-diri itu memungkinkan, keadaan evolusi parasit menentukan strategi reproduksi yang paling efektif. Ketika parasit tidak berevolusi berdampingan, fertilisasi-diri berkembang sebagai bentuk yang mendominasi reproduksi inang. Sebaliknya, ketika parasit dibiarkan berevolusi berdampingan dengan inang, maka seks menjadi strategi reproduksi yang menguntungkan.
“Evolusi berdampingan dengan patogen tidak hanya membuat seks melampui fertilisasi-diri, tapi juga memungkinkan seks terus dipertahankan dalam seluruh percobaan,” kata Morran.
Hasil ini konsisten dengan Hipotesis Ratu Merah dan mungkin bahkan lebih jauh menjelaskan keberadaan seks yang meluas.
“Parasit yang berevolusi berdampingan tampaknya sangat umum di alam,” kata Lively. “Percobaan menunjukkan bahwa evolusi berdampingan dengan parasit memilih untuk tingkat penyilangan yang lebih tinggi. Dengan demikian perjuangan evolusi berdampingan antara inang dan parasit bisa menjelaskan keberadaan jantan.”
Kredit: Universitas Indiana
Jurnal: Levi T. Morran, Olivia G. Schmidt, Ian A. Gelarden, Raymond C. Parrish II, Curtis M. Lively. Running with the Red Queen: Host-Parasite Coevolution Selects for Biparental Sex. Science, 8 July 2011: DOI: 10.1126/science.1206360
Salah satu oganisme yang dipercaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan kualitas air sungai adalah ulat air berkantung. Ulat air berkantug termasuk di dalam ordo Caddisfly dan merupakan organisme yang pada tahap larvanya berada di dalam sebuah kantung yang ia buat sendiri dan terletak pada dasar sungai atau batu di dasar sungai.
  • Klasifikasi dari organisme ini adalah:
Kingdom           : Animalia
Filum                 : Arthropoda
Kelas                  : Insecta
Super Ordo        : Amphiesmenoptera
Ordo                  : Trychoptera
Berbagai spesies caddisfly dapat ditemukan di seluruh dunia. Anggota ordo serangga Trichoptera itu masih berkerabat dekat dengan Lepidoptera, ordo yang beranggotakan ngengat dan kupu-kupu, dua serangga yang memintal sutra kering. Serangga ini kerap digunakan sebagai umpan oleh para pe-mancing karena disukai ikan trout. (Batavia, 2010).
Berbagai spesies caddisfly dapat ditemukan di seluruh dunia. Anggota ordo serangga Trichoptera itu masih berkerabat dekat dengan Lepidoptera, ordo yang beranggotakan ngengat dan kupu-kupu, dua serangga yang memintal sutra kering. Serangga ini kerap digunakan sebagai umpan oleh para pe-mancing karena disukai ikan trout. (Batavia, 2010).
Gambar 2.1  Ulat air berkantung yang menempel pada sebatang pohon yang berada di dalam air. (Neuswanger, 2010).
 Gambar 2.2  sketsa yang mengambarkan ulat air berkantung dengan kantungnya
  • Ekologi Ulat Air Berkantung
Dalam wikipedia (2011) disebutkan bahwa ulat air berkantung di temukan hanya pada daerah yang berair bersih, sehingga organisme ini dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator daerah yang bersih. Dengan kata lain, apabila pada suatu perairan tawar ditemukan banyak ulat air berkantung ini, maka secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa perairan tersebut masih bagus dan tidak tercemar.
Di indonesia, ulat air berkantung ini, sering ditemukan pada daerah sumber mata air yang memiliki air jernih dan arus yang tidak terlalu deras. Sesuai dengan penjelasan pada wikipedia bahwa ulat air berkantung ini memang suka hidup pada bebatuan atau di dasar sungai yang memiliki arus, namun tidak terlalu deras.
Sesuai namanya, ulat air berkantung ini memiliki kemampuan untuk membentu semacam kantung yang dijadikan tempatnya hidup. Uniknya larva ini hidup di bawah air yang mengalir dan memakan alga-alga kecil serta plankton yang terikut aliran air.
Dalam Batavia (2010) dijelaskan bahwa beberapa spesies menghabiskan fase perkembangan larva mereka di dalam air dan membangun sebuah wadah berbentuk .tabung sepanjang 1 inci atau sebuah shelter sekujur tubuhnya menggunakan sutra lengket dan batu atau butiran pasir. Spesies lain menggunakan sutra, ranting kecil, dan potongan daun sebagai material “rumah” mereka.
Setiap larva mempunyai kepala dan empat kaki yang menjulur keluar dari dalam tabung. Wadah itu tak selalu berbentuk tabung, terkadang lebih mirip kerucut karena bertambah lebar ketika larva tumbuh. Pada saat larva berkembang menjadi pupa, lubang tabung akan ditutupi oleh campuran batu dan pasir hingga dia tumbuh menjadi serangga terbang dewasa, keluar dari tabung tersebut dan hidup di daratan.
Ulat air berantung, akustik dan kupu-kupu maupun ngengat darat muncul dari nenek moyang penghasil sutra yang sama pada 150-200 juta tahun lampau. Caddisfly kini hidup di seluruh perairan dunia, mulai sungai berarus deras hingga rawa payau yang sunyi.” Caddisfly sukses memasuki beragam habitat akuatik karena larvanya dapat menggunakan sutra dalam airnya untuk membangun struktur tabung batu sebagai proteksi dan untuk mengumpulkan makanan,” kata Stewart dalam Batavia (2010).
Odum (1993) menyebutkan bahwa zona air deras dihuni oleh bentos yang beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang dapat melekat atau berpegangan dengan kuat pada dasar yang padat oleh ikan yang kuat berenang “darter”. Salah satu bentos yang termasuk dalam pernyataan odum di atas adalah ulta air berkantung ini.
Bentos hidupnya relaif menetap, sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Sehingga dengan demikian semakin diyakini bahwa ulat air berkantung ini merupakan bioindikator yang tepat untuk mendeteksi kualitas air sungai.

TAHUKAH ANDA. MENGAPA AIR LAUT TERASA ASIN

Sebetulnya rasa asin pada air laut berasal dari daratan, kronologisnya adalah : Pada saat terjadi hujan didaratan air akan meresap dalam tanah dan sedikit demi sedikit akan keluar lagi melalui sungai-sungai dam akhirnya mencapai laut . Nah pada saat perjalanan menuju ke laut tersebut air dari daratan juga membawa garam-garam mineral sehinga laut dipenuhi garam-garam mineral.

Kita mengetahui laut mempunyai permukaan yang sangat luas sehingga hal ini menjadi salah satu faktor penguapan yang cukup besar, pada saat air laut menguap yang menguap hanyalah H2O (air) sedang garam garam mineral tetap tinggal bersama air laut, begitulah sehinggga air laut rasanya asin. Kadar keasinan air laut ini dipengaruhi oleh faktor suhu, biasanya semakin panas daerah tersebut air lautnya semakin asin.

Lalu kenapa air di danau itu tidak berasa asin padahal airnya juga dari daratan..?? Jawabanya karena permukaan air danau tidak cukup luas sehingga penguapannya tidak begitu besar, maksudnya air yang menguap dengan air yang masuk ke danau masih balance dan sumber mineralnya sangat terbatas, beda dengan laut yang sumber mineralnya dari berbagai penjuru dunia menjadi satu.

Air laut adalah air dari laut atau samudera. Air laut memiliki kadar garam rata-rata 3,5%. Artinya dalam 1 liter (1000 mL) air laut terdapat 35 gram garam (terutama, namun tidak seluruhnya, garam dapur/NaCl).

Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.

Air laut memiliki kadar garam karena bumi dipenuhi dengan garam mineral yang terdapat di dalam batu-batuan dan tanah. Contohnya natrium, kalium, kalsium, dll. Apabila air sungai mengalir ke lautan, air tersebut membawa garam. Ombak laut yang memukul pantai juga dapat menghasilkan garam yang terdapat pada batu-batuan. Lama-kelamaan air laut menjadi asin karena banyak mengandung garam. (KF-BAS/v/berbagai sumber)

OBAT KUMUR ORAL-B KENA BAKTERI, P&G TARIK PRODUKNYA DI RI

Perusahaan multinasional Amerika Serikat, Procter & Gamble alias P&G telah menarik lima jenis obat kumurnya dari peredaran di Kolombia dan Kanada. Penarikan mouthwash dengan merek dagang Oral-B tersebut dikarenakan adanya kontaminasi bakteri. P&G juga sudah menarik produknya di Indonesia.

Sementara itu Deputi bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Ruslan Aspan, Selasa (19/7), mengatakan Pihak P&G sudah lapor pada pihak BPOM, dan melakukan penarikan sukarela sejak hari Jumat kemarin.

Spesifikasi produk Oral-B yang ada cemaran mikro-organisme Burkholderia anthina ini tidak dikirim ke Indonesia, melainkan kepada 4 negara yakni Argentina, Brasil, Chili dan Meksiko. Oral-B yang diimpor ke Indonesia, juga diproduksi di Kolombia. Namun spec yang ada cemaran bakterinya tidak ada di Indonesia. Yang ditarik ada 2 jenis Oral-B, yang biasa dan yang alcohol free. (KF-Koran Warga/v/detikhealth)

Minggu, 02 Januari 2011

oleh biobio pada Mei 12, 2009, 04:51:00 Ketika masih kanak-kanak, saya sering sekali mengkhayal setiap kali menonton The Lost World, “Wah, seru sekali kalau punya dinosaurus peliharaan di rumah...”. Tentu saja anggota keluarga saya yang lain tertawa mendengar khayalan saya. “Maklum, anak-anak.”, mungkin begitu pikir mereka. Okelah, mungkin memang masih terlalu jauh untuk berpikir bagaimana cara membangunkan makhluk prasejarah itu. Untuk dinosaurus memang terlalu ekstrim, tapi ternyata cukup menjanjikan untuk banyak makhluk lain!

Beberapa tahun terakhir ini, dunia biologi membuka harapan besar untuk menghidupkan kembali satwa-satwa yang telah punah setelah Teruhiko Wakayama, seorang profesor biologi asal Jepang berhasil membuat kloning dari seekor mencit yang telah beku selama dua dekade. Para ahli genetika dan biologi molekuler pun berusaha untuk melakukan terobosan yang lebih spektakuler lagi, yakni merancang kembali makhluk hidup yang telah punah dari muka bumi! Ya, mulai burung Dodo (Raphus cucullatus) yang punah pada akhir abad ke-17, serigala Tasmania (Thylacinus cynocephalus), Quagga (Equus quagga) yang individu terakhirnya mati di kebun binatang Amsterdam tahun 1883, sampai beberapa subspesies dari harimau yang telah punah (Panthera tigris balica, Panthera tigris sondaica), bukan suatu hal yang mustahil lagi bahwa suatu saat nanti mereka akan kembali menjelajahi muka bumi ini. Para ilmuwan di San Diego, misalnya. Bermodal hanya sedikit jaringan yang diambil dari spesimen awetan banteng Jawa yang telah mati selama beberapa tahun, mereka berhasil mengisolasi DNA banteng Jawa tersebut dan memasukkannya ke sel telur sapi biasa. Hasilnya, dua ekor banteng Jawa dilahirkan dari rahim sapi biasa. Metode yang digunakan untuk hal itu adalah dengan meniru metode yang pertama kali dipakai untuk membuat domba kloning pertama, Dolly, yakni mengganti inti sel telur induk angkat dengan inti sel dari hewan yang hendak “dibangun”.

National Geographic bulan Mei 2009 ini menyajikan berita yang cukup menarik mengenai usaha para ilmuwan untuk membangkitkan kembali mamooth (ex. Mammuthus primigenius), sejenis gajah raksasa berbulu lebat yang pernah menguasai lingkaran kutub utara puluhan ribu tahun silam. Dengan ditemukannya spesimen utuh seekor bayi mamooth di Siberia dua tahun yang lalu, para ilmuwan berhasil memetakan lebih dari 70% genom mamooth yang merinci banyak hal dasar yang amat diperlukan untuk menghidupkan hewan kembali hewan purba itu. “Saya dulu tertawa mendengar Steven Spielberg (sutradara kawakan yang juga menangani pembuatan film The Lost World) berkata bahwa kloning binatang yang sudah punah tak bisa dihindari. Tapi kini saya tak lagi tertawa, setidaknya menyangkut mamooth. Ini bakal terjadi. Tinggal detailnya saja,” ujar Hendrik Poinar, pakar DNA purbakala dari McMaster University.

Dalam kasus membangunkan kembali binatang purba itu, pertama-tama haruslah didapatkan urutan DNA yang lengkap dari hewan punah yang hendak dibuat kembali. Urutan DNA ini amat panjang, bisa jadi terdiri atas milyaran pasangan basa (purin – pirimidin). Selanjutnya, para ilmuwan perlu membuat peta dari genom hewan tersebut. Keseluruhan genom itu kemudian harus diurutkan ulang berkali-kali untuk membuang DNA asing yang bukan berasal dari spesies tersebut. Kemudian, barulah DNA tersebut dikemas dalam benuk kromosom. Setelah memperoleh kromosom yang dapat digunakan, dapatlah dibuat inti sel sintetis yang nantinya (seperti yang diceritakan tadi) akan diselipkan ke sel tanpa inti dari induk angkatnya. Induk angkat tersebut diusahakan berkerabat dekat dengan hewan rancangan tadi, satu genus, atau setidaknya satu famili.

Untuk banyak spesies lain yang berlum terlampau jauh rentang waktu kepunahannya, hal itu jauh lebih mudah. Untuk serigala Tasmania, sejauh ini para ilmuwan telah berhasil membangun ulang sebagian besar dari DNA nya, terutama bagian yang membentuk bangun dasar tubuh. Dalam DNA berpenanda radioaktif yang disuntikkan ke tubuh beberapa hewan percobaan, terlihat bahwa DNA yang mengkode pembentukan tulang dan beberapa organ telah berhasil diisolasi. Karena itu, para ilmuwan terus mencari spesimen yang lebih utuh dan segar dari tiap-tiap hewan punah tersebut untuk membangun perpustakaan gen yang lebih lengkap. Pastilah, bicara soal menghidupkan lagi spesies yang telah punah dewasa ini tidak lagi dianggap science-fiction belaka.

Percayalah, keberhasilan membangkitkan kembali harimau Jawa, serigala Tasmania, burung Dodo, mamooth, bahkan dinosaurus(?) hanya tinggal menunggu waktu saja. Namun, letak permasalahannya bukanlah di situ, bukan soal teknologinya, tetapi lebih ke soal etis. Ketika kita berhasil mengklon hewan yang telah punah, kita akan mendapatkan hewan yang sebatang kara di kebun binatang, bukan di habitat aslinya yang memang sudah tidak ada. Perlu dipertimbangkan kembali baik dan buruknya membangunkan kembali spesies yang telah punah. Memang, keberhasilan seperti itu akan membawa terobosan yang amat revolusioner di bidang sains, khususnya biologi, akan tetapi secara etis masih banyak sekali yang perlu dipertimbangkan.

Entahlah bagaimana akhirnya nanti. Namun saya pribadi yakin bahwa tak lama lagi akan ada banyak spesies punah yang dapat dibangun kembali, tentunya dengan segala kontroversi yang menyertainya!

Referensi :
- National Geographic
- How To Build a Dinosaur: Extinction doesn’t have to be forever by Jack Horner, James Gorman
oleh gaiu pada Agustus 11, 2010, 11:13:00
Ketika kita menatap bintang di langit malam, kita dihadapkan pada kubah raksasa yang disebut bola langit. Orang yunani kuno membagi bola langit ini ke dalam daerah-daerah yang disebut rasi. Sampai saat ini diketahui ada 88 rasi bintang. Nama-nama rasi ini kebanyakan bersumber dari mitologi Yunani seperti Canis Major, Ursa Minor, Scorpio, dan Orion.

Ada banyak cara dalam penamaan bintang di antaranya dengan memberi nama dari bahasa Yunani (Scorpio, Crux, Ophiucus, Aquarius, Orion), penamaan berdasarkan rasi tempat bidang  tersebut berada (contoh : Alpha Centauri berarti bintang paling terang pada konstelasi Centauri, bintang kedua paling terang disebut Beta, dan seterusnya), dan penamaan berdasarkan nomor urutnya dalam katalog atau cara modern (contoh : NGC 6205).

Salah satu cara pengklasifikasian bintang adalah berdasarkan suhunya dan kemiripan susunan garis spektrumnya. Ada beberapa versi pengklasifikasian bintang, berikut pengklasifikasian bintang menurut Angelo Secchi (1863):
1. Kelas spektra O
Berwarna biru, temperatur > 30.000 K, garis-garis He terionisasi, garis N terionisasi 2x, garis Si terionisasi 3x, garis H tampak tapi lemah.
Contoh bintang : Alnitak, Bintang 10 Lacerta.
2. Kelas spektra B
Berwarna biru, temperatur 11.000 - 30.000 K, garis He netral, garis Si terionisasi 1 atau 2 x, garis O terionisasi, garis H tampak lebih jelas ketimbang kelas O.
Contoh bintang : Rigel, Spica.
3. Kelas spektra A
Berwarna biru, temperatur 7.500 - 11.000 K, garis H sangat kuat, garis Mg, Si, Fe, dan Ca terionisasi 1x, garis logam netral tampak lemah.
Contoh bintang : Sirius, Vega.
4. Kelas spectra F
Berwarna biru keputih-putihan, temperatur 6.000 - 7.500 K, garis H lebih lemah dari kelas A, garis Ca, Fe, Cr terionisasi 1x, garis Fe dan Cr netral.
Contoh bintang : Canopus, Procyon.
5. Kelas spectra G
Berwarna putih kekuning-kuningan, temperatur 5.000 - 6.000 K, garis H lebih lemah, garis Ca terionisasi, pita molekul G-Band sangat kuat.
Contoh bintang : Capella, Matahari.
6. Kelas spectra K
 Berwarna jingga kemerah-merahan, temperatur 3.500 - 5.000 K, garis H sangat lemah, garis logam netral mendominasi, Pita Titanium Oksida tampak.
Contoh bintang : Arcturus, Aldebaran.
7. Kelas spectra M
Berwarna merah, temperature 2.500 - 3.000 K, pita molekul Titanium Oksida sangat mendominasi, garis logam netral tampak dengan jelas..
Contoh bintang : Betelgeuse, Antares.

Selain penggolongan kelas spectra O-B-A-F-G-K-M, ada juga yang mengklasifikasikan ke dalam kelas W-O-B-A-F-G-K-M-R-N-S.  Untuk mudah mengingatnya, bisa menggunakan jembatan keledai Wow-Oh-Be-A-Fine-Girl-Kiss-Me-Right-Now-Sweetie. Dari situ  terlihat bahwa bintang yang paling panas warnanya justru biru, bukan merah. Semakin merah suatu bintang, maka semakin dingin suhunya.
2025 Views | 13 Komentar | Rating: (2 rates)

(13 Komentar , 0 are new)
1 Re: Kelas Spektra Bintang oleh Satu-Satui pada Agustus 12, 2010, 07:33:05
ohhh...baru tau saya..
2 Re: Kelas Spektra Bintang oleh loser1942 pada Agustus 14, 2010, 10:31:35
nice info..
3 Re: Kelas Spektra Bintang oleh dendenn pada September 02, 2010, 01:43:51
cara taunya gimana??
aku lait bintang kayaknya sama semua deh,,hehe
4 Re: Kelas Spektra Bintang oleh dliyarcturus pada September 08, 2010, 08:05:24
kalo buat tau secara mendetail seperti diatas memang dibutuhkan alat khusus.. tapi kalo dengan mata telanjang, sebenernya kita bisa kok liat
perbedaan warna bintang.. coba pandangi lekat-lekat langit malam, ada yang warnanya seperti putih  ada juga yang merah. Dgn itu kita nisa
mengindikasikan, bintang yg warnanya merah pasti lebih dingin dibanding yg berwarna putih.. gitu sih setauku. hehe

bener2 diamati deh langit malamnya...pasti nanti terlihat perbedaan warna bintangnya kok, walalupun nggak mencolok ketawa
5 Re: Kelas Spektra Bintang oleh justbwae pada September 13, 2010, 01:01:37
pengelompokannya berdasarkan pendapat tahun 1863. apa yang sekarang masi berlaku? atau ada tata kelas yang laen? thx ts..
6 Re: Kelas Spektra Bintang oleh asrinimahdia pada Oktober 12, 2010, 07:01:14
sama aja kayak api kompor... api biru lebih panas dari api merah
7 Re: Kelas Spektra Bintang oleh Marselaa pada Oktober 21, 2010, 06:57:59
bagus bagus~ b^^b
8 Re: Kelas Spektra Bintang oleh skywalk3 pada Oktober 24, 2010, 07:21:50
hmmm........bagus"nambah"pengetahuan jg ^^
9 Re: Kelas Spektra Bintang oleh deviwahyu pada November 05, 2010, 07:23:25
sekarang ini sulit lihat bintang...di Malang mendung terus tiap hari...  :-(
10 Re: Kelas Spektra Bintang oleh nate river pada November 13, 2010, 03:19:35
Btw, kenapa pembagian kelas spectra nya O-B-A-F-G-K-M atau W-O-B-A-F-G-K-M-R-N-S?
Kenapa nggak A-B-C-……dst? Atau 1-2-3-……dst?
Kenapa penamaannya begitu? ada penjelasannya nggak?
11 Re: Kelas Spektra Bintang oleh iezha pada November 18, 2010, 10:37:55
sama aja yah untuk belahan bumi utara ma belahan bumi selatan.. kan beda perspektifnya tuh..
12 Re: Kelas Spektra Bintang oleh Ananta-san pada Desember 10, 2010, 07:44:02
ssip...
nice info..
13 Re: Kelas Spektra Bintang oleh ismanda pada Desember 28, 2010, 01:10:21
knapa bisa dinamain menurut yunani? apa gk bisa nama yang lain?
Commenting option has been turned off for this article.